TEORI KOGNITIF
1.1 Pengertian Teori Belajar Kognitif
Secara bahasa Kognitif berasal dari bahasa latin ”Cogitare”
artinya berfikir. Dalam pekembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini
menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi manusia/satu konsep umum
yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang
berhubungan dengan masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka,
pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan,
pertimbangan, membayangkan, memperkirakan, berpikir dan keyakinan.
Sedangkan
secara istilah dalam pendidikan Kognitif adalah salah satu teori diantara
teori-teori belajar dimana belajar adalah pengorganisasian aspek-aspek kognitif
dan persepsi untuk memperoleh pemahaman. Dalam model ini, tingkah laku
seseorang ditentukan oleh persepsi dan pemahamannya tentang situasi yang
berhubungan dengan tujuan, dan perubahan tingkah laku, sangat dipengaruhi oleh
proses belajar berfikir internal yang terjadi selama proses belajar.
Teori belajar ini hadir dan muncul disebabkan para Ahli
Psikologi belum puas dengan penjelasan yang teori-teori yang terdahulu. Mereka
berpendapat bahwa tingkah laku seseorang selalu di dasarkan pada kognisi, yaitu
suatu perbuatan mengetahui atau perbuatan pikiran terhadap situasi dimana
tingkah laku itu terjadi. Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses
yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel
(1996) bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang
berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan
perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap.
Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”.
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang
melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari
proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan
dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, keterampilan dan nilai sikap
yang bersifat relatif dan berbekas. Objek-objek yang di amatinya dihadirkan dalam
diri seseorang melalui tanggapan, gagasan, atau lambing yang merupakan sesuatu
yang bersifat mental. Misalnya, seseorang menceritakan hasil perjalanannya
berupa pengalaman kepada temannya. Ketika dia menceritakan pengalamannya selama
dalam perjalanan, dia tidak dapat mennghadirkan objek-objek yang pernah
dilihatnya selama dalam perjalanan itu, dia hanya dapat menggambarkan semua
objek itu dalam bentuk kata-kata atau kalimat.
Dari
keterangan dan penjelasan di atas dapat pemakalah simpulkan bahwa Kognitif adalah
salah satu ranah dalam taksonomi pendidikan. Secara umum kognitif diartikan
potensi intelektual yang terdiri dari beberapa tahapan, yaitu ; pengetahuan
(knowledge), pemahaman (comprehention), penerapan (aplication), analisa
(analysis), sintesa (sinthesis), evaluasi (evaluation). Kognitif berarti
persoalan yang menyangkut kemampuan untuk mengembang kan kemampuan rasional
(akal).
1.2 Teori
Belajar Koqnitif menurut Jean Piaget
Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu
proses genetika, yaitu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis, yaitu
perkembangan system syaraf. Dengan bertambahnya umur maka susunan syaraf
seseorang akan semakin kompleks dan memungkinkan kemampuannya akan semakin
meningkat. Jean Piaget
meneliti dan menulis subjek perkembangan kognitif ini dari tahun 1927 sampai
1980. Berbeda dengan para ahli-ahli psikologi sebelumnya, Piaget menyatakan
bahwa cara berpikir anak bukan hanya kurang matang dibandingkan dengan orang
dewasa karena kalah pengetahuan , tetapi juga berbeda secara kualitatif.
Menurut penelitiannya juga bahwa tahap-tahap perkembangan individu /pribadi
serta perubahan umur sangat mempengaruhi kemampuan belajar individu.
Piaget mengembangkan teori perkembangan kognitif yang
cukup dominan selama beberapa dekade. Dalam teorinya Piaget membahas
pandangannya tentang bagaimana anak belajar. Menurut Jean Piaget, dasar dari
belajar adalah aktivitas anak bila ia berinteraksi dengan lingkungan sosial dan
lingkungan fisiknya. Pertumbuhan anak merupakan suatu proses sosial. Anak tidak
berinteraksi dengan lingkungan fisiknya sebagai suatu individu terikat, tetapi
sebagai bagian dari kelompok sosial. Akibatnya lingkungan sosialnya berada
diantara anak dengan lingkungan fisiknya. Interaksi anak dengan orang lain
memainkan peranan penting dalam mengembangkan pandangannya terhadap alam.
Melalui pertukaran ide-ide dengan orang lain, seorang anak yang tadinya
memiliki pandangan subyektif terhadap sesuatu yang diamatinya akan berubah
pandangannya menjadi obyektif.
Proses belajar haruslah di sesuaikan dengan perkembagan
syaraf seorang anak, dengan bertambahnya umur maka susunan saraf seorang akan
semakin kompleks dan memungkinkan kemampuannya semakin meningkat. Karena itu
proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap perkembangan tertentu
sesuai dengan umurnya. Perjenjangan ini bersifat hierarki, yaitu melalui
tahap-tahap tertentu sesuai dengan umurnya. Seseorang tidak dapat mempelajari
sesuatu yang diluar kemampuan kognitifnya. Dalam perkembangan intelektual ada
tiga hal penting yang menjadi perhatian Piaget yaitu :
·
Struktur,
Piaget memandang ada hubungan fungsional antara tindakan fisik, tindakan mental
dan perkembangan logis anak-anak. Tindakan (action) menuju pada operasi-operasi
dan operasi-operasi menuju pada perkembangan struktur-struktur.
·
Isi,
merupakan pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respon yang
diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya.
·
Fungsi,
Adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual.
Menurut Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yaitu
organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan pada organisme kemampuan untuk
mengestimasikan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis menjadi
sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. Adaptasi, terhadap lingkungan
dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Menurut
Pieget, proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yaitu asimilasi,
akomodasi dan equilibrasi.
·
Asimilasi,
adalah proses penyatuan informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada
dalam benak siswa.
·
Akomodasi,
adalah proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi baru.
·
Equilibrasi,
adalah proses penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Menurut Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan
dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya
diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang
oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari
guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau
berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal
dari lingkungan.
Menurut Piaget aspek
perkembangan kognitif meliputi empat tahap yaitu:
1. Sensory-motor
(sensori-motor)
Selama
perkembangan dalam periode ini berlangsung sejak anak lahir sampai usia 2
tahun, intelegensi yang dimiliki anak tersebut masih berbentuk primitif dalam
arti masih didasarkan pada perilaku terbuka. Meskipun primitif dan terkesan
tidak penting, intelegensi sensori-motor sesungguhnya merupakan intelegensi
dasar yang amat berarti karena ia menjadi pondasi untuk tipe-tipe intelegensi
tertentu yang akan dimiliki anak tersebut kelak.
2. Pre
operational (praoperasional)
Perkembangan
ini bermula pada saat anak berumur 2-7 tahun dan telah memiliki penguasaan sempurna mengenai objek
permanence, artinya anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya
suatu benda yang ada atau biasa ada, walaupun benda tersebut sudah ia
tinggalkan atau sudah tak dilihat dan tak didengar lagi. Jadi, padangan
terhadap eksistensi benda tersebut berbeda dari pandangan pada periode
sensori-motor, yakni tidak lagi bergantung pada pengamatan belaka.
3. Concrete
operational (konkret-operasional)
Dalam
periode konkret operasional ini belangsung hingga usia menjelang remaja,
kemudian anak mulai memperoleh tamnbahan kemampuan yang disebut sistem of
operations (satuan langkah berfikir). Kemampuan ini berfaedah bagi anak untuk
mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu dalam sistem
pemikirannya sendiri.
4. Formal
operational (formal-operasional)
Dalam
perkembngan formal operasional, anak yang sudah menjelang atau sudah menginjak
masa remaja, yakni usia 11-15 tahun, akan dapat mengatasi masalah keterbatasan
pemikiran. Dalam pperkembangan kognitif akhir ini seorang remaja telah memiliki
kemampuan mengkoordinasikan baik secara simultan (serentak) maupun berurutan
dua ragam kemampuan kognitif, yakni:
·
kapasitas
menggunakan hipotesis.
·
kapasitas
menggunakan prinsip-prinsip abstrak
Dalam dua
macam kemampuan kognitif yang sangat berpengaruh terhadap kualiatas skema
kognitif itu tentu telah dimiliki oleh orang-orang dewasa. Oleh karenanya,
seorang remaja pelajar yang telah berhasil menempuh proses perkembangan formal
operasional secara kognitif dapat dianggap telah mulai dewasa.
1.2.1 Implikasi
Teori Pieget untuk Pendidikan
Para pendidik memandang bahwa teori Pieget itucdapat
dipakai sebagai dasar pertimbangan guru di dalam menyusun struktur dan urutan
mata pelajaran di dalam kurikulum. Hunt mempraktekkan di dalam program
pendidikan TK yang menekankan pada perkembangan sensori motoris dan
proeperasional. Misalnya belajar menggambar, mengenal benda, dan menghitung.
Seorang guru yang tidak memperhatikan tahapan-tahapan
perkembangan kognitif anak ini akan cenderung menyulitkan siswa. Contoh,
mengajarkan konsep-konsep abstrak tentang Shalat kepada sekelompok siswa kelas
dua SD, tanpa adanya usaha untuk mengkongkretkan konsep-konsepp tersebut, tidak
hanya sia-sia, tetapi justru akan lebih membingungkan siswa.
Implementasi Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Dalam Pembelajaran, adalah :
·
Bahasa dan
cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar
dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
·
Anak-anak
akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru
harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
·
Bahan yang
harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
Teori
belajar Piaget dalam aplikasi praktisnya mementingkan keterlibatan siswa dalam
proses belajar mengajar, karena hanya dengan melibatkan atau mengaktifkan
siswa, maka proses asimilasi dan akoomodasi pengetahuan dapat terjadi dengan
baik. Secara umum pengaplikasian teori piaget dalam kegiatan pembelajaran
biasanya mengikuti pola berikut :
- Menentukan tujuan-tujuann instruksional.
- Memilih amteri pelajaran.
- Menentukan topic-topik yang mungkin dipelajari secara aktif oleh siswa (dengan bimbingan minimum dari guru).
- Menentukan dan merancang kegiatan belajar yang cocok untuk topic-topik yang akan dipelajari siswa.
- Mempersiapkan berbagai pertanyaan yang dapat memacu kreativitas siswa untuk berdiskusi atau bertanya.
- Mengevaluasi proses dan hasil belajar.
1.2.2 Kritik terhadap teori Pieget
Kebanyakan ahli psikologi sepenuhnya menerima
prinsip-prinsip umum Piaget bahwa pemikiran anak-anak pada dasarnya berbeda
dengan pemikiran orang dewasa, dan jenis logika anak-anak itu berubah seiring
dengan bertambahnya usia. Namun, ada juga peneliti yang meributkan
detail-detail penemuan Piaget, terutama mengenai usia ketika anak mampu
menyelesaikan tugas-tugas spesifik.
Pada sebuah
studi klasik, McGarrigle dan Donalson (1974) menyatakan bahwa anak sudah mampu
memahami konservasi (conservation) dalam usia yang lebih muda daripada usia
yang diyakini oleh Piaget. Studi lain yang mengkritik teori Piaget yaitu bahwa
anak-anak baru mencapai pemahaman tentang objek permanence pada usia di atas 6
bulan. Balillargeon dan De Vos (1991) 104 anak diamati sampai mereka berusia 18
tahun, dan diuji dengan berbagai tugas
operasional formal berdasarkan tugas-tugas yang dipakai Piaget, termasuk
pengujian hipotesa. Mayoritas anak-anak itu memang belum mencapai tahap
operasional formal. Hal ini sesuai dengan studi-studi McGarrigle dan Donaldson
serta Baillargeon dan DeVos, yang menyatakan bahwa Piaget terlalu meremehkan
kemampuan anak-anak kecil dan terlalu menilai tinggi kemampuan anak-anak yang
lebih tua.
1.3 Teori Belajar Ausubel
Menurut Ausubel belajar haruslah bermakna, materi yang
dipelajari diasimilasikan secara non arbitrer dan berhubungan dengan
pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Ausubel seorang psikologist
kognitif, ia mengemukakan bahwa yang perlu diperhatikan seorang guru ialah
strategi mengajarnya. Sebagai contoh pelajaran berhitung bisa menjadi tidak
berhasil jika murid hanya di suruh menghafal formula-formula tanpa mengetahui
arti formula-formula itu. Sebaliknya bisa lebih bermakna jika murid diajari
fungsi dan arti dari formula-formula tersebut.
Dalam
aplikasinya teori Ausubel ini menuntut siswa belajar secara deduktif (dari umum
ke khusus). Secara umum, teori Ausubel ini dapat diterapkan dalam proses
pembelajaran melalui tahap-tahap sebagai berikut :
·
Menentukan
tujuan-tujuan intruksional.
·
Mengukur
kesiapan peserta didik seperti minat, kemampuan, dan struktur kognitifnya melalui
tes awal, interview, pertanyaan, dan lain-lain.
·
Memilih
materi pelajaran dan mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep-konsep kunci.
·
Mengidentifikasikan
prinsip-prinsip yang harus dikuasai dari materi itu.
·
Menyajikan
suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari.
·
Membuat
rangkuman terhadap materi yang baru saja disampaikan dengan uraian yang singkat.
·
Membelajarkan
peserta didik memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang ada dengan
memberikan focus pada hubungan yang terjalin antara konsep yang ada.
·
Mengevaluasi
proses dan hasil bejar.
Menurut
Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut “pengatur
kemajuan” (advance organizer) didefenisikan dan dipresentasikan dengan baik dan
tepat kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum
mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa. Ada
tiga manfaat dari “advance organizer” ini, yaitu :
·
Dapat
menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi pelajaran yang akan dipelajari.
·
Dapat
berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipejari
siswa saat ini dan dengan apa yang akan dipelajari.
·
Dapat
membantu siswa untuk memahami bahan secara lebih mudah.
1.4 Teori Belajar Bruner
Bruner menusulkan teorinya yang disebut free discovery
learning. menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan
kreatif jika dosen member kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan
(termasuk konsep, teori, defenisi, dan sebagainya), melalui contoh-contoh yang
ia jumpai dalam kehidupan. Dengan kata lain siswa dibimbing secara induktif
untuk memahami suatu kebenaran umum. Untuk memahami konsep kejujuran misalnya
siswa tidak semata-mata menghafal defenisi kata kejujuran tersebut melainkan
dengan mempelajari contoh-contohnya yang konkret tentang kejujuran dan dari
contoh itulah siswa dibimbing untuk mendefenisikan kata kejujuran.
Menurut
Brunner, pembelajaran hendaknya dapat menciptakan situasi agar mahasiswa dapat
belajar dari diri sendiri melalui pengalaman dan eksperimen untuk menemukan
pengetahuan dan kemampuan baru yang khas baginya. Dari sudut pandang psikologi
kognitif, bahwa cara yang dipandang efektif untuk meningkatkan kualitas output
pendidikan adalah pengembangan program-program pembelajaran yang dapat
mengoptimalkan keterlibatan mental intelektual pembelajar pada setiap jenjang
belajar. Sebagaimana direkomendasikan Merril, yaitu jenjang yang bergerak dari
tahapan mengingat, dilanjutkan ke menerapkan, sampai pada tahap penemuan
konsep, prosedur atau prinsip baru di bidang disiplin keilmuan atau keahlian
yang sedang dipelajari.
Teori
belajar Bruner ini dalam aplikasinya sangat membebaskan siswa untuk belajar
sendiri. Karena itulah teori Bruner ini dianggap sanagt cenerung bersifat
discovery (belajar dengan cara menemukan). Disamping itu karena teori Bruner
ini banyak menuntut pengulangan-pengulangan maka desain yang berulang-ulang ini
lazim disebut sebagai kurikulum spiral Bruner. Kurikulum piral menuntut guru
untuk member materi pembelajaran setahap-demi setahap dari yang sederhana ke
yang kompleks, dimana suatu materi yang sebelumnyasudah diberikan, suatu saat
muncul kembali, secara terintegrasi, di dalam suatu materi baru yang lebih
kempleks.
Dalam teori
belajar, Bruner juga berpendapat bahwa kegiatan belajar akan berjalan baik dan
kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan
tertentu. Dalam hal ini Bruner membedakan menjadi tiga tahap. Ketiga tahap itu
adalah:
a.
Tahap informasi, yaitu
tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru.
b.
Tahap transformasi, yaitu
tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru serta
mentransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang
lain.
c.
Evaluasi, yaitu untuk mengetahui
apakah hasil tranformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak.
Bruner
mempermasalahkan seberapa banyak informasi itu diperlukan agar dapat
ditransformasikan . Perlu Anda ketahui, tidak hanya itu saja namun juga ada
empat tema pendidikan yaitu:
·
Mengemukakan
pentingnya arti struktur pengetahuan.
·
Kesiapan
(readiness) siswa untuk belajar.
·
Nilai
intuisi dalam proses pendidikan dengan intuisi.
·
Motivasi
atau keinginan untuk belajar siswa, dan cura untuk memotivasinya.
Dengan
demikian Bruner menegaskan bahwa mata pelajaran apapun dapat diajarkan secara
efektif dengan kejujuran intelektual kepada anak, bahkan dalam tahap
perkembangan manapun. Bruner beranggapan bahwa anak kecilpun akan dapat
mengatasi permasalahannya, asalkan dalam kurikulum berisi tema-tema hidup, yang
dikonseptualisasikan untuk menjawab tiga pertanyaan. Berdasarkan uraian di
atas, teori belajar Bruner dapat disimpulkan bahwa, dalam proses belajar
terdapat tiga tahap, yaitu informasi, trasformasi, dan evaluasi. Lama tidaknya
masing-masing tahap dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain banyak
informasi, motivasi, dan minat siswa.
Bruner juga
memandang belajar sebagai “instrumental conceptualisme” yang mengandung makna
adanya alam semesta sebagai realita, hanya dalam pikiran manusia. Oleh karena
itu, pikiran manusia dapat membangun gambaran mental yang sesuai dengan pikiran
umum pada konsep yang bersifat khusus. Semakin bertambah dewasa kemampuan
kognitif seseorang, maka semakin bebas seseorang memberikan respon terhadap
stimulus yang dihadapi. Perkembangan itu banyak tergantung kepada peristiwa
internalisasi seseorang ke dalam sistem penyimpanan yang sesuai dengan
aspek-aspek lingkungan sebagai masukan. Teori belajar psikologi kognitif
memfokuskan perhatiannya kepada bagaimana dapat mengembangkan fungsi kognitif
individu agar mereka dapat belajar dengan maksimal. Faktor kognitif bagi teori
belajar kognitif merupakan faktor pertama dan utama yang perlu dikembangkan
oleh para guru dalam membelajarkan peserta didik, karena kemampuan belajar
peserta didik sangat dipengaruhi oleh sejauhmana fungsi kognitif peserta didik
dapat berkembang secara maksimal dan optimal melalui sentuhan proses
pendidikan.
Peranan guru
menurut psikologi kognitif ialah bagaimana dapat mengembangkan potensi kognitif
yang ada pada setiap peserta didik. Jika potensi kognitif yang ada pada setiap
peserta didik telah dapat berfungsi dan menjadi aktual oleh proses pendidikan
di sekolah, maka peserta didik akan mengetahui dan memahami serta menguasai
materi pelajaran yang dipelajari di sekolah melalui proses belajar mengajar di
kelas. Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari)
oleh siswa, yang tercakup dalam tiga kawasan yang diantaranya : Kognitif.
Kognitif terdiri dari enam tingkatan, yaitu :
·
Pengetahuan
(mengingat, menghafal)
·
Pemahaman
(menginterpretasikan)
·
Aplikasi /
penerapan (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah)
·
Analisis
(menjabarkan suatu konsep)
·
Sintesis
(menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh)
·
Evaluasi
(membandingkan nilai, ide, metode dan sebagainya).
1.5 Teori Belajar Gestalt
Teori Gestalt dikembangkan oleh Koffka, Kohler, dan
Wertheimer. Menurut teori Gestalt belajar adalah proses pengembangan insight.
Insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian dalam suatu situasi
permasalahan. Berbeda dengan teori Behavioristik yang menganggap belajar itu
bersifat mekanistis, sehingga mengabaikan atau mengingkari peranan insight.
Teori Gestalt justru menganggap bahwa insight adalah inti dari pembentukan
tingkah laku. Peletak dasar teori belajar Gestalt ialah Max Wertheimer sebagai
usaha untuk memperbaiki proses belajar denga rote learning dengan pengertian
bukan menghapal. Dalam belajar, menurut teori Gestalt, yang terpenting adalah
penyesuaian pertama, yaitu mendapatkan respons atau tanggapan yang tepat.
Belajar yang terpenting bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi
mengerti atau memperoleh insight. Belajar dengan pengertiian lebih dipentingkan
daripada hanya memasukkan sejumlah kesan. Belajar dengan insight adalah sebagai
berikut :
a. Insight tergantungg dari kemampuan dasar
b. Insight tergantung dari pengalaman masa lampau yang relevan
c. Insight hanya timbul apabila situasi belajar diatur sedemikian rupa,
sehingga segala aspek yang perlu dapat diamati
d. Insight adalah hal yang harus dicari, tidak dapat jatuh dari langit
e. Belajar dengan insight dapat diulangi
f. Insight sekali didapat dapat digunakan untuk menghadapi situasi-situasi
baru.
Prinsip-prinsip
Teori belajar Gestalt
Seperti diketahui Teori Belajar gestalt lebih menekankan
kepada persepsi. Karena itu prinsip-prinsip atau hokum-hukum yanga ada pada
Gestalt pada umumnya menyangkut persepsi. Adapun teori-teori gestalt antara
lain :
·
Belajar
berdasarkan keseluruha.
·
Belajar adalah
suatu proses perkembangan.
·
Anak didik
sebagai organism keseluruhan.
·
Terjadi
transfer.
·
Belajar
adalah reorganisasi pengalaman.
·
Belajar
harus dengan insight.
·
Belejar
lebih berhasil bila berhubungan dengan minat, keinginan, dan tujuan.
·
Belajar berlangsung
secara terus-menerus.
sumber:
https://sites.google.com/site/mulyanabanten/home/teori-belajar-behavioristik/teori-belajar-kognitif
di akses tanggal 12 mei 2015 jam 12:30
http://www.slideshare.net/hanisdurani/teori-kognitif-29184054
di akses tanggal 12 mei 2015 jam 14: 45
Bjorklund,
D.F. (2000) Children's Thinking: Developmental Function and individual
differences. 3rd ed. Bellmont, CA : Wadsworth
Cole, M, et
al. (2005). The Development of Children. New York: Worth Publishers.
Johnson,
M.H. (2005). Developmental cognitive neuroscience. 2nd ed. Oxford :
Blacwell publishing
Piaget, J.
(1954). "The construction of reality in the child". New York: Basic
Books.
Piaget, J.
(1977). The Essential Piaget. ed by Howard E. Gruber and J. Jacques
Voneche Gruber, New York: Basic Books.
Piaget, J.
(1983). "Piaget's theory". In P. Mussen (ed). Handbook of Child
Psychology. 4th edition. Vol. 1. New York: Wiley.
Piaget, J.
(1995). Sociological Studies. London: Routledge.
Piaget, J.
(2000). "Commentary on Vygotsky". New Ideas in Psychology, 18,
241–259.
Piaget, J.
(2001). Studies in Reflecting Abstraction. Hove, UK: Psychology Press.
Seifer,
Calvin "Educational Psychology"
No comments:
Post a Comment